Terpajang
setia di jam dinding sudut kamarku. Aku kembali terjaga dengan bulir
keringat dingin sebesar jagung di keningku. Hhhhhhhhhhh... mimpi buruk
lagi. Haruskah aku kembali ke kelas dengan mata bengkak dan lingkaran
hitam di sekitar mataku lagi? Aku sedang tak ingin meladeni setiap
pertanyaan konyol tentang berapa jam kupejamkan mata malam ini. Oh.. aku
lupa, mungkin pagi ini tak perlu kuladeni pertanyaan itu karena kuyakin
tak akan ada lagi yang akan bertanya.
Kubangkitkan
tubuhku, nyeri terasa sangat menyiksa di seluruh bagian tubuhku. Tentu
saja, pasti nyeri itu terasa pagi ini. Aku terguling dari tangga di
kampus itu kemarin hanya karena terpeleset. Tangga sialan itu yang
mengungkap kenapa aku selau terjaga satiap malam.
Kurasakan
dingin menyentuh ujung hidungku saat kubuka jendela. Terlihat taman
yang tertata rapi, dengan butiran embun di setiap ujung dedaunannya.
Melihat taman itu membuatku semakin perih. Aku sudah lelah menangis.
Kebiarkan jendela tetap terbuka agar dingin itu menelusup hatiku.
Aku
berjalan dan duduk di sudut tempat tidurku. Kupeluk lututku, bukan
karena dingin. Aku hanya ingin membuat diriku merasa aman.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka perlahan, sosok mirip perempuan mengintip di balik pintuku.
“Kau terbangun lagi?”, tanyanya.
Aku diam dan memalingkan wajahku.
“Maafkan
aku, aku tak bermaksud membebanimu dan mempermalukanmu. Kemarin aku
sangat khawatir padamu hingga kuputuskan untuk menjemputmu di kampus.
Aku tahu kau sangat kecewa padaku. Andai saja kau tahu betapa inginnya
aku untuk tidak menjadi seperti ini, tapi aku tak bisa dan kau tahu aku
telah berusaha”.
Aku
menatapnya, dia terlihat anggun dengan balutan gaun tidur. Rambutnya
terurai panjang, dan menurutku dia terlihat cantik meski tanpa make up.
Tapi semua itu semu dan aku benci ketidaknyataan ini!
Kulihat dia mencoba masuk dan mendekati tempat tidurku.
“Pergilah! Aku ingin kembali tidur!”, kataku, dan itu membuatnya berhenti melangkah.
“Maafkan
aku, dan bagaimanapun kau tetap anakku. Dan bagiku, kau adalah anugrah
yang paling sempurna dibalik ketidaksempurnaanku ini!”.
Kurasakan
panas meliuk naik dari punggung ke wajahku, dan hangat mengalir lembut
di pipiku. Tapi hal yang paling kurasakan adalah perih yang menusuk
dadaku.
Kembali
terbayang masa-masa saat kulihat dia berusaha menjadi normal, semakin
dia berusaha, semakin jelas terlihat bahwa dia tersiksa. Hingga aku pun
tak lagi mampu melihatnya menangis sambil memelukku. Itu masa yang
sangat menyakitkan.
“Anakku,
kau anakku! Kau harapanku! Andai saja aku bisa meminta Tuhan untuk
memilihkan orang tua yang lebih baik untukmu, aku pasti tak akan ragu
menumbalkan hidupku demi semua itu!”, dia terduduk dan kembali menangis.
“Aku
tahu kau sangat marah karena kemunculanku di depan teman-temanmu
kemarin. Aku benar-benar menyesal dan aku mohon maafkan kelakuanku
bodohku kemarin. Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu merasa lebih
baik.”, katanya lagi.
“Keluarlah, aku sedang ingin sendiri!”, kataku pelan.
Kulirik dia, pelan-pelan dia mencoba bangkit dan berjalan menuju pintu.
“Ayah, bisakah aku memanggilmu Ayah?”, kataku. Kali ini aku tak lagi mampu menahan tangisku.
Dia
berhenti berjalan dan menangis lagi. Entah mengapa dia menangis, tapi
aku menangis karena ku yakin aku yang membuatnya menangis.
Cerita lama pun terulang, kami berdua menangis diiringi suara Adzan.By: Herning Tyas Sarwastuti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar